Rabu, 28 Desember 2011

Apa Sebenarnya yang Disebut Gaul?

Beberapa waktu lalu aku bercakap online dengan seorang teman lama:

Temanku (sejak aku pindah ke Jakarta, kami tak pernah jumpa): Kamu tambah gaul. Selama di Jakarta, apa ada yang membuatmu berubah?
Aku : Soal apa? pergaulan? Tidak ada yang berubah. Bahkan soal bahasa, aku masih pakai "aku-kamu", hampir gak pernah pakai "gue-loe". 
Temanku: Apakah kamu masih shalat?
Aku: (Gubrak! pertanyaan model apakah itu? Hehehe. It's okay.). Ya masihlah, meski masih susah untuk selalu tepat waktu. Tidak ada yang berubah. Aku masih muslim. No wine, no pork, also no kiss and no sex until merried. :-).

+

Karena temanku non-muslim yang (setahuku dulu) biasa minum wine, jadi aku perlu menjelaskan panjang begitu. Dulu saat kami masih sering bersama, aku pun menjelaskan batasan pergaulan seorang muslim senada dengan itu. Karena prinsip dasar dalam pergaulan sebagai muslim ada hal-hal yang harus dihindari, diantaranya hal-hal itu: menghindari minuman memabukkan, tidak makan daging babi (sebenarnya bukan hanya babi, tapi aku tidak sedang membahas soal fiqih, ntar tambah ruwet), menghindari zina -mungkin setiap orang bisa jadi berbeda dalam melihat batasan "mendekati zina" dan aku setuju, kalau ciuman adalah termasuk hal mendekati zina, apalagi lebih dari itu.

Dulu, aku dan temanku tersebut pernah menghadiri acara dimana di sana disediakan "wine", sebelum berangkat aku perlu memastikan bahwa dia gak akan minum wine di tempat yang akan kami tuju. Tepat sebelum berangkat, aku minta dia berjanji untuk tidak minum wine hingga pulang. Kalau dia hendak minum, lebih baik aku tidak ikut berangkat ke acara. Karena itu akan membuatku repot saat pulang, kami naik motor bersama. Syukurlah dia menepati janjinya.

Temanku itu pernah curhat kalau dia sebenarnya nggak suka minum-minuman memabukan itu, tapi karena diajak teman-teman jadi nggak enak kalau gak minum. Jadi, kadang-kadang dia minum demi tuntutan pergaulan. Hm...

Hm, apa sebenarnya yang namanya "gaul" itu? Aku juga gak paham apa yang dimaksud "gaul" bagi dia atau bagi orang-orang. Tapi aku tahu banyak teman-teman berkualitas, secara mental ataupun intelektual, yang menurutku keren dan gaul, yang punya prinsip tersendiri menentukan batasannya sendiri, dan kebanyakan mereka tidak minum-minuman keras dan paham batas pergaulan.

Yang ingin kusampaikan di sini, setiap orang punya prinsip batasan diri masing-masing dan belajarlah untuk menghargai prinsip sendiri. Tidak perlu minum wine jika kita meyakini itu memang tak boleh diminum, bahasa tegasnya haram. Tidak perlu merasa nggak enak untuk menyatakan prinsip. Pada dasarnya orang akan menghargai prinsip orang lain, lagipula prinsip tersebut tidak merugikan siapapun. Jika ada yang mengolok-olok, misal dikatain kampungan karena kita nggak mau minum wine, dibilang gak gaul karena kita gak pernah ciuman, santai saja, justru yang mengolok-oloklah yang kampungan, karena di jaman yang modern seperti ini malah mereka tidak paham bagaimana menghargai hak orang lain. Menghindari hal-hal yang harus kita hindari adalah hak kita.

Juga, kalau ada teman yang beda prinsip dengan kita, itu juga hak mereka.  

Oh ya kalau kamu seorang Islam, anak muda masih belasan tahun dan penasaran rasanya wine. Ah cuma wine kok, gpp kali ya. Ups, jangan menyelepelekan "cuma". Kamu bisa googling, seperti apa rasa wine. Sudah tahu, cukup kan? Tidak perlu coba-coba hanya untuk seteguk yang dapat mengotori tubuh kita. Bagi yang sudah telanjur mencoba, juga tidak perlu mendorong orang lain untuk mencobanya.

Desember 2011
Renungan Akhir Tahun.
Kutululis untuk anak-anakku kelak dan untuk para ponakan. ;-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar