Selasa, 08 November 2011

Massanto

Ketika aku cerita tentang hubunganku dengan Massanto, tanggapan teman-temanku menanggapi berbeda-beda. ~ Umur 28 tahun, lulusan sebuah universitas di Jerman (sejak SMP, lalu SMA, kuliah, dan kerja di jerman), ayahnya salah satu dosen kampusku.

"Wah, di Jerman? Pergaulannya pasti bebas. Diselidiki dulu."
"Sejak kecil di Jerman, masih perjaka nggak tuh."
"Wah, kereeeen! Kenal dimana?"

Begitulah kira-kira tanggapan teman-teman saat kuceritakan soal Massanto.
Awal kenal dia dimulai ketika adiknya menulis email padaku akan mengenalkan kakaknya yang sedang mencari jodoh. Menurutnya, Massanto itu orangnya sederhana, nggak macem-macem, nggak suka pesta, nggak minum-minuman keras, cuma minum................Coca cola! Hehe. Poin "soal pergaulan" itu penting sekali buatku.

Pas aku kenal langsung Massanto, dia memang orangnya simple banget, beda sama aku yang rumit. Dia juga lucu, selalu berusaha melucu. Kulitnya lebih putih dariku, tingginya 174 cm, lumayan gendut, (menurutku) cakep, sedikit lugu dan aku yakin dia lelaki yang tanggungjawab. Asiiik.

Lalu apa kekurangan Massanto?
Nobody perfect. Massanto tidak bisa mengendarai motor dan mobil. Hah? Aku kaget awal dengarnya. Aku yang perempuan saja belajar naik motor 6 gigi membelah jalanan Jakarta. Ups, sekali lagi tidak ada manusia yang sempurna. Dia bisa belajar untuk kelak bisa mengendarai motor dan mobil. Tapi kalau tetap nggak bisa, ya sudah, kan bisa jalan kaki dan naik angkutan umum.

Lalu, Massanto juga "berbeda", dalam arti "agak lambat dewasa" dibanding laki-laki seusianya. Dia nampak sedikit seperti anak kecil, meski begitu keputusan-keputusan Massanto itu dewasa. Mungkin agak sulit menggambarkan sosoknya, tapi aku ingin jujur bahwa itu bagiku baik-baik saja. Massanto yang simple, nggak macem-macem, tanggungjawab, dan tulus, ditambah dia "berbeda", aku yakin dia orang yang setia dan tidak akan mencoba hal-hal yang aneh. Menurutku profilnya lebih baik daripada lelaki yang nampak "sempurna", tapi tidak menentramkan hati.

Tentang Massanto yang "berbeda", mamanya pernah bilang karena mungkin mamanya terlalu memanjakannya dan selalu memperlakukan dia seperti anak kecil. Tapi menurutku bukan lantaran itu, ada alasan psikis yang membuatnya menjadi seperti itu, dia seperti membatasi keberanian dirinya untuk mencoba atau menghadapi sesuatu.

Kehadiran Massanto dalam hidupku, meski jarak jauh, menguji ketulusan kasihku. Dan kurasa benar, seiring waktu aku memang menyayanginya.

Ketika komunikasi kami sedang baik-baiknya, tiba-tiba ayahnya keberatan soal keluargaku yang berbasis Islam NU, sedangkan keluarga mereka Islam berbasis Muhammadiyah. Sampai akhirnya hubungan kami dipaksa untuk berakhir. Aku heran, sama sekali tidak menyangka bahwa soal basis agama bisa menjadi masalah besar buat ayahnya, meskipun sama-sama Islam. Itulah yang terjadi di negaraku yang mayoritas Islam. Meski nampak sebagian besar penduduknya Islam, tapi sebenranya berbeda-beda.

Soal tradisi NU atau Muhammadiyah, sejujurnya bagiku sama saja, aku bukan pengikut jamaah atau manhaj tertentu. Ada taradisi NU yang kuikuti, ada juga tradisi Muhammadiyah yang lebih sreg kuyakini. Aku lebih memilih Islam yang berbasis kemanusiaan. Jadi, ketika hubungan kami harus diakhiri, aku sedih sekali, karena telanjur sayang sama dia. Tapi aku juga harus berlapang dada, Allah pasti lebih tahu yang terbaik buatku dan buat Massanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar