Sabtu, 26 November 2011

No More Skyping Goslar - Jakarta

It's Saturday, but no more skyping Goslar-Jakarta! :'(

Berdua dan sendiri tentu saja berbeda. Beberapa waktu lalu masih kadang sedih kalau ingat bahwa hubunganku dengan Massanto harus berakhir.

Tapi, sekarang aku sudah lebih baik menghadapi kehilangan itu. Mengenalnya seperti fase yang tiba-tiba, berpisah pun tiba-tiba.

Bertemu dia ada banyak hikmah. Pertama, selain menemukan banyak kelebihan Massanto, aku juga belajar menerima utuh tentang seseorang.

Saat itu kami janjian di depan benteng Vredeberg. Itu pertemuan kami yang ketiga. Aku naik angkutan umum ke sana, karena sebelumnya dia bilang nggak bisa naik motor, maka akan naik angkutan umum. Tapi, ternyata dia diantar naik motor oleh mamanya. Pulang pun dijemput mamanya pakai motor.

Kalau aku cerita sama teman-teman perempuanku, mereka teriak histeris karena kok bisa-bisanya aku menemukan laki-laki lugu. ("kencan kok diantar mamanya" kata salah satu sahabatku.) Hwaaa. Tapi aku punya banyak alasan untuk membela Massanto.  Sejak umur 12-29 tahun (sampai kini), dia tinggal di Jerman, wajar dong nggak bisa naik motor. Keluarganya kebetulan sedang nggak punya mobil, jadi wajar dong diantar mamanya pakai motor kemana-mana. Siapa tahu dia lupa jalanan Jogja, khawatir tersesat dan kalau dia mau tanya ke orang-orang barangkali bingung bahasanya karena bahasa Indonesianya memang cukup kacau balau. Sebenarnya, hal itu tetap saja tidak wajar, sebagai lelaki di tanah kelahirannya dia tak akan tersesat. Dia hanya tidak dibiasakan berani ambil resiko, dia tidak dibiasakan untuk jadi 'lanang banget'. Di mataku menjadi wajar, karena toleransiku begitu tinggi. Dan itu tidak salah. Ada yang toleransinya jauh lebih tinggi dariku, ada orang yang bisa menerima pasangannya yang bahkan cacat fisik. Kalau Allah berkehendak menanamkan kasih sayang, tak ada yang mustahil.

Nobody perfect, aku coba terima kekurangannya. Aku sempat membayangkan jika menikah sama dia, pada saat-saat genting dan berada di Indonesia mungkin aku akan pergi sendiri, naik motor sendiri. Atau kalau mau jalan-jalan bareng, naik angkutan umum atau taksi. Naik angkutan umum itu tidak nyaman, apalagi tipe dia yang di tempat non-AC mengeluh. Lalu, semoga akan mendorong dia belajar naik motor. siapapun yang memiliki organ tubuh sempurna, apalagi laki-laki, menurutku sangat penting dan wajib bisa naik motor. Juga wajib bisa mengendarai mobil. Karena itu salah satu hal yang bisa diandalkan ketika sedang darurat.

Kalau sejak itu, sejak pertemuan ketiga, aku tahu ayahnya keberatan soal waliku (mas sulungku) yang dikiranya Islam liberal ( masa sih? masku nggak ikut JIL lho), dan ayahnya tidak suka NU (karena basik keluarganya Muhammadiyah dan PKS), padahal basik keluargaku itu sudah kujelaskan sejak awal ke keluarganya, maka jika saat pertemuan itu juga hubungan kami harus diakhiri, aku tidak terlalu sedih.

Tapi sayangnya hubungan kami berakhir saat komunikasi kami sedang sangat bagus. Karena dia sudah di Goslar (Germany) komunikasi lewat FB dan skype. Kalau Massanto sendiri tidak mempermasalahkan soal Nu atau Muhammadiyah. Dia sendiri tidak begitu paham soal organisasi keislaman di Indonesia.

Biasanya kami janjian untuk skype cukup lama hari sabtu atau minggu. Hari-hari biasanya dia kerja sejak pagi sampai malam. Tapi biasanya aku terima message-nya setiap pagi sebelum dia ke kantor, siang saat dia istirahat sejenak di kantor, sore menjelang magrib saat dia masih di kantor, lalu malam saat dia sampai rumah.

Kami selisih waktu kami 5 jam. Jadi, saat ia berangkat kantor jam 8 pagi di Goslar, aku di sini masih bobo. Saat dia pulang kantor dan selesai mandi dan beres-beres jam 9 malam waktu Jerman, di sini jam 2 pagi. Kalau aku sedang mengerjakan kerjaan hingga pagi, aku masih bisa membalasnya, lalu kami ngobrol lewat message. Tepatnya saling kirim puisi. Puisi hanya dua hingga empat baris. soal puisi itu ide dia. Puisinya selalu ada kata Cola-nya. Massanto memang pintar melucu. Aku jadi selalu tertawa. Itu juga salah satu kelebihan Massanto, selalu bikin suasana jadi ceria. Makanya saat dia bikin surat keputusan, dia memintaku agar membencinya karena dia telah menyakitiku. Oh, sedihnya. Ups, ya sudahlah.

Ah iya, di tinggal di apartemen di tengah hutan, di kota kecil. Pulang kantor sampai rumah sekitar jam 8 malam lebih, dan karena musim (apa ya, lupa. hehe) matahari baru tenggelam pukul 9 malam. Kalau gak salah jam 5 pagi sudah terbit, jadi ketika ramadhan 2011 ini puasanya panjang.

Biasanya kalau Sabtu atau Minggu, kami janjian ngobrol skype cukup lama. Tapi kini tak ada lagi bikin janji seperti itu lagi. Hikmahnya, belajar ikhlas atas sesuatu yang datang dan pergi. Pertemuan kami barangkali mendadak, jadi perpisahan pun mendadak. Aku coba berpikir positif bahwa Massanto sudah berupaya atas hubungan kami, dan wajar jika dia memilih mencari jalan damai dengan ayahnya. Lalu, dia pun yang memutuskan untuk tidak bisa melanjutkan hubungan kedekatan denganku dan berjanji bersedia menjadi teman baik, tapi berikutnya dia seolah menutup komunikasi denganku. Komenku di foto-fotonya dihapus, padahal itu komen biasa saja. Sepertinya karena ada pihak yang melarangnya agar jangan lagi komunikasi denganku, nanti terpengaruh Islam liberal. Gubrak! Andai mereka tahu, Islamku biasa saja. Aku bukan manusia fanatik pada manhaj tertentu. Islamku atas dasar nuarni kemanusiaan.

Tapi ya sudahlah, hikmah ini semua, menjadi pelajaran ikhlas buatku dan Massanto. Semoga juga bisa buat pelajaran orang-orang di sekitar kami.

Alhamdulillah, insyallah sudah bisa berlapang dada tentang perpisahan ini. Jadi, biarlah kenangan itu kumasukkan ke dalam kotak dan kupita dengan tali yang indah, lalu disimpan di rak. Suatu hari pasti aku akan menemukan cinta baru, begitu juga dia. Seperti kata pepatah, perlakukan cinta yang sedang kita hadapi sebagai cinta terakhir. Jadi, biarlah hujan menghapus jejak masa lalu. ;-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar